Sebelumnya, perkenankan saya untuk berterima kasih kepada FSTVLST atau Festivalist, yang mengadakan tugas ini, yang membuat saya ingat akan memiliki blog yang mana harus diperbaharui isinya untuk saat ini dan seterusnya, dan membangkitkan semangat nulis saya yang sayup-sayup mulai redup. saya ucapkan sekali lagi: Matur Nuwun :) Sebelum masuk akan hal inti akan kerinduan saya dalam jathilan dan meratapi akan malangnya dunia ini, eh negara ini ding, yang masih bergulat dengan virus yang menghambat akan semuanya, termasuk dalam bersenang-senang dan berjathil ria, izinkan saya untuk menceritakan bagaimana saya mengenal akan ben (band) dari Kota Jogjakarta ini, yang sedikit banyak membantu saya dalam melewati masa remaja akhir hingga saat ini melalui lagu-lagu yang berdendang di telinga saya hari lepas hari. FESTIVALIST - atau FSTVLST (dihilangkan huruf vokalnya), band yang saya kenal sejak 2013, 2014 awal, di saat saya dalam mobil teman dengan mendengarkan lagu dari JENNY
Hidup?
Untuk apa kita hidup? Untuk makan saja? Untuk tidur? Untuk kerja? Untuk apa? Kupikir kita jarang menanyakan hal tersebut. Hal yang seharusnya kita pahami betul, bukan hanya sekedar memantul dipikiran dan memuai begitu saja.
Hidup?
Hiduplah yang benar-benar hidup, menjadi manusia yang menghidupi perannya, menjadi manusia yang menghidupi apa yang harusnya dilakukan.
Bukan menjadi manusia yang terlalu menjiwai dunia, sehingga lupa akan perannya. Lupa kalau kita ini adalah mahluk paling berakal budi yang diciptakan. Tujuannya? Tujuannya adalah agar dunia ini tidak penuh karut marutnya. Yang seharusnya ia berperan menjadi manusia, tapi malah memerankan binatang, yah binatang, yang berperan hanya Makan, tidur, dan meniduri, serta embel-embel “aku pemilik daerah kekuasaan” sebagai penyempurna hidup, agar lebih dipandang besar dan dipandang pemegang pasar.
Kita ini bukan Binatang, kita ini bukan mahluk yang tak berakal, yang memikirkan apa yang jadi keinginannya. Ya kalau baik? Kalau keinginannya membuat hal yang tak baik? Mampus lah orang disekitarnya. Biasanya orang yang memerankan binatang adalah dia yang memiliki kuasa, harta, dan wanita yang berlimpah senghinga lupa kalau itu harusnya digunakan untuk memberikan manfaat untuk sekitarnya. Jika singa saja mampu memberikan rasa aman bagi daerah kekuannya. Kenapa yang berkuasa lupa akan perannya? Padahal lebih berakal lho. Lebih bisa berfikir seharusnya. Tapi kenyataannya banyak yang memilih untuk memerankan binatang akhirnya.
Hebat dalam segala hal, tapi di sekitar hanya menjadi sampah yang tak berguna? kaya raya tapi daun pohonnya jatuh di halaman tetangganya saja, di punggut dan tetangganya dituntut? Kuharap anda yang membaca bukan orang yang mengambil peran itu.
Dan satu pesan terakhir yang kuharap juga menjadi prinsipmu atau setidaknya kau melakukannya dalam menghidupkan hidupmu
Untuk apa kita hidup? Untuk makan saja? Untuk tidur? Untuk kerja? Untuk apa? Kupikir kita jarang menanyakan hal tersebut. Hal yang seharusnya kita pahami betul, bukan hanya sekedar memantul dipikiran dan memuai begitu saja.
Hidup?
Hiduplah yang benar-benar hidup, menjadi manusia yang menghidupi perannya, menjadi manusia yang menghidupi apa yang harusnya dilakukan.
Lantas apa yang harus dilakukan?Hanya satu sebenarnya. Hiduplah untuk menghidupkan peranmu dalam menjalankan hidupmu, kata pepatah jawa, “Urip kudu Urup”. Yah, hanya itu sebenarnya. Kita memerankan peran manusia yang sebaik mungkin dan bisa memanusiakan manusia. Atau lebih gampangnya, kita harus memberikan manfaat di dalam hidup yang kita jalani. Peran yang kita jalankan hendaknya memberikan efek yang baik dan memberikan getaran positif pada orang-orang disekitar kita.
Bukan menjadi manusia yang terlalu menjiwai dunia, sehingga lupa akan perannya. Lupa kalau kita ini adalah mahluk paling berakal budi yang diciptakan. Tujuannya? Tujuannya adalah agar dunia ini tidak penuh karut marutnya. Yang seharusnya ia berperan menjadi manusia, tapi malah memerankan binatang, yah binatang, yang berperan hanya Makan, tidur, dan meniduri, serta embel-embel “aku pemilik daerah kekuasaan” sebagai penyempurna hidup, agar lebih dipandang besar dan dipandang pemegang pasar.
Kita ini bukan Binatang, kita ini bukan mahluk yang tak berakal, yang memikirkan apa yang jadi keinginannya. Ya kalau baik? Kalau keinginannya membuat hal yang tak baik? Mampus lah orang disekitarnya. Biasanya orang yang memerankan binatang adalah dia yang memiliki kuasa, harta, dan wanita yang berlimpah senghinga lupa kalau itu harusnya digunakan untuk memberikan manfaat untuk sekitarnya. Jika singa saja mampu memberikan rasa aman bagi daerah kekuannya. Kenapa yang berkuasa lupa akan perannya? Padahal lebih berakal lho. Lebih bisa berfikir seharusnya. Tapi kenyataannya banyak yang memilih untuk memerankan binatang akhirnya.
Hebat dalam segala hal, tapi di sekitar hanya menjadi sampah yang tak berguna? kaya raya tapi daun pohonnya jatuh di halaman tetangganya saja, di punggut dan tetangganya dituntut? Kuharap anda yang membaca bukan orang yang mengambil peran itu.
Dan satu pesan terakhir yang kuharap juga menjadi prinsipmu atau setidaknya kau melakukannya dalam menghidupkan hidupmu
Hiduplah yang lebih baik dari hari kemarin
Dan ulangi untuk hari selanjutnya, dan selanjutnya, dan sampai mati.
Komentar
Posting Komentar